RSS

binus

Rasa Beda Kampus Bina Nusantara

LEBIH dari hiburan,pementasan drama mendorong mahasiswa untuk mempraktikkan ,mengasah,dan mengaktualkan pengetahuan yang mereka peroleh di bangku kuliah.


Dengan begitu,mahasiswa menjadi lebih kompetitif setelah lulus. Berbicara tentang Universitas Bina Nusantara (Binus), Jakarta, selama ini aktivitas kampus tidak beranjak dari kegiatan bertema bisnis dan teknologi informasi (TI).Tidak mengherankan, sebab bisnis dan TI adalah ”kebutuhan pokok”manusia pada saat ini. Namun, pada akhir pekan silam Binus mampu menyajikan satu menu yang berbeda daripada biasa. Bukan seminar bisnis atau pun TI,Binus justru menggelar pertunjukan seni berupa pementasan drama. Karena kegiatan ini tidak biasa,maka dia pun menjadi ”luar biasa”sehingga menarik untuk dicermati.

Berjudul Don’t Mess with Charlie, drama tersebut ditulis Alex Jhon,alumnus Jurusan Sastra Inggris Binus yang sekarang menjadi dosen di Binus pula.Sementara itu, sutradara drama ini adalah Venatius Vladimir Ivan, dosen mata kuliah Character Building di Binus. Bertempat di Auditorium Kampus Anggrek Binus, drama Don’t Mess with Charlie merupakan proyek kolaborasi antara dosen,mahasiswa, dan alumni Jurusan Sastra Inggris Binus. Hampir seluruh lini dalam proses produksi drama ini juga dikerjakan tim Sastra Inggris Binus, kecuali makeup, yang mendapatkan dukungan profesional dari sekolah kecantikan Puspita Martha International Beauty School.

Terbagi dalam tiga babak, drama Don’t Mess with Charlie bercerita tentang pencarian identitas seorang pemuda bernama Charlie yang tinggal di Chicago,Amerika Serikat, pada 1946. Dari judul dan latar, dapat ditebak drama ini tentu berbicara tentang kehidupan mafia.Sebab,Chicago merupakan bekas wilayah kekuasaan gangster legendaris Alphonse Gabriel ”Al” Capone. Namun, drama Don’t Mess with Charlie mampu menyuguhkan pengalaman berbeda daripada film-film mafia populer seperti trilogi The God Father karya Francis Ford Coppola,atau yang terbaru,Public Enemieskarya Michael Mann.

Layaknya biografi para gangster ternama, drama Don’t Mess with Charlie memang pekat diwarnai tragedi,melalui intrik,konflik, dan semburan peluru.Namun,berbeda daripada kisah gangster tradisional, drama Don’t Mess with Charlie dibubuhi pula dengan unsur komedi. Dengan genre komedi-tragedi, drama Don’t Mess with Charlie mampu mengajak audiens ”bersenam wajah” selama sekitar 1,5 jam pementasannya. Sebab, pada detik tertentu penonton bisa mengernyitkan dahi, tetapi pada detik berikutnya penonton tenggelam dalam gelak tawa.

Pementasan drama Don’t Mess with Charlie mampu menyuguhkan hiburan segar di tengah sepi pementasan seni teater di Jakarta karena para pemain mampu menjiwai peran yang mereka emban di atas panggung, terutama dosen Sastra Inggris Binus Irfan Rifai, yang memerankan karakter Don Carusso. Dari seluruh karakter dalam drama Don’t Mess with Charlie,Don Carusso merupakan peran yang paling menantang karena karakter ini menuntut perubahan ekspresi paling dinamis. Sebagai Don Carusso, pemain dituntut mampu menampilkan sosok pemimpin sindikat kejahatan terorganisasi, bengis, flamboyan,tetapi juga polos.

Di sini, Irfan layak diacungi jempol karena dia bisa menampilkan sempurna sosok Don Carusso yang superior di mata para pengawal dan musuh-musuhnya, tetapi inferior ketika berhadapan dengan istrinya,yaitu Emilia,yang menjadi mastermind setiap operasi bisnis kejahatan Don Carusso. Kehadiran Emilia dalam Don’t Mess with Charlie layak dicermati karena Emilia menjadi kekuatan, sekaligus kelemahan, drama ini. Peran Emilia sangat penting dalam Don’t Mess with Charlie karena Emilia adalah pembangun plot. Namun,kehadiran Emilia ternyata juga melemahkan skenario. Sebab, secara tradisional, mafia Italia-Amerika tidak pernah melibatkan istri-istri mereka dalam operasi kejahatan.

Bahkan, seperti tercermin dari sejumlah karya sastra masterpiece tentang mafia, haram bagi mafia Italia- Amerika membicarakan bisnis kotor mereka dengan istri, terutama saat di meja makan. Sebaliknya dalam Don’t Mess with Charlie, Emilia justru mendominasi keluarga Carusso sehingga menenggelamkan karakter Don Carusso sendiri. Karena itu, cita rasa Italia dalam drama ini menjadi sedikit hambar. Keganjilan lain dalam pementasan drama Don’t Mess with Charlie adalah penggunaan setting ruang. Dalam drama tersebut, panggung dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bar, ruang keluarga, dan taman. Anehnya bar di panggung ini ternyata nyaris tidak tersentuh pemain.

Padahal,para mafia Italia-Amerika biasa menghabiskan waktu di dua tempat. Jika di rumah,mereka bercengkerama dengan keluarga di dapur, yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan.Sementara jika di luar rumah,mafia Italia-Amerika biasa menghabiskan waktu di bar. Di sana mereka membuat masalah sekaligus menyelesaikan masalah. Dalam pementasan drama Don’t Mess with Charlie, pusat aktivitas pemain pun seharusnya berada di bar, bukan di ruang keluarga. Namun, pemain terjebak untuk berkumpul di ruang keluarga karena ruang keluarga diletakkan di tengah panggung, sedangkan bar justru terpojok ke pinggir.

Namun, terlepas dari sejumlah kontradiksi yang mengikis realisme tersebut, pementasan drama Don’t Mess with Charlie di Binus terbilang sukses.Terbukti, para pemain bisa melafalkan dialog-dialog berbahasa Inggris secara nyaris sempurna di sepanjang pementasan. Lebih dari itu,ruang pementasan drama ini, yang berkapasitas 600 kursi, juga nyaris penuh penonton. Sebagian besar dari mereka pun pulang dengan senyum tersungging sebagai tanda bahwa mereka menikmati suguhan komedi- tragedi ini. Usai pementasan,Ketua Jurusan Sastra Inggris Binus Risa Rumentha Simanjuntak mengungkapkan, pementasan drama Don’t Mess with Charlie memang bukan sekadar untuk menyajikan hiburan.

Lebih dari itu, pementasan drama tersebut dilakukan untuk mengasah hard-skill dan soft-skill atau employability skill para mahasiswa Sastra Inggris Binus. ”Ketika bermain drama,mahasiswa bisa mempraktikkan, mengasah, dan mengaktualkan seluruh pengetahuan yang mereka peroleh di bangku kuliah.Dengan demikian, mahasiswa akan menjadi lebih siap terjun ke masyarakat setelah lulus,”ujar Risa. Risa menegaskan, perkembangan zaman menuntut lulusan yang tidak hanya berpengetahuan, juga memiliki keahlian berkehidupan. Gabungan keduanya merupakan kunci sukses manusia modern.

Jurusan Sastra Inggris Binus pun akan menggelar lebih banyak lagi pementasan seni budaya, terutama drama, karena pementasan- pementasan tersebut sanggup memperkaya portofolio karya dan prestasi mahasiswa. ”Aktivitas tersebut selaras dengan salah satu misi Jurusan Sastra Inggris Binus, yaitu membuat produksi-produksi yang berhubungan dengan budaya dan kesenian,” kata Risa. (ahmad fauzi)

0 komentar:

Posting Komentar