RSS

MAKALAH ILEGALLOGING

Bab I
  1. Pendahuluan

Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan seperti kepentingan negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan rakyat maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Perebutan kepentingan ini selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus konflik kepentingan tersebut (I Gusti Ayu Ketut, 2005, 4). Menurunnya kualitas lingkungan hidup dalam 5 tahun terakhir semakin memprihatinkan. Sebetulnya sebelum reformasi bergulir sistem pengelolaan lingkungan sudah mulai efektif. Namun perubahan tatanan ekonomi, sosial dan politik yang disertai dengan perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi otonomi melemahkan kepemerintahan termasuk upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pelemahan sitem pengelolaan lingkungan menimbulkan pelanggaran kaidah-kaidah dan peraturan pelestarian lingkungan hidup, baik pada tingkat kebijakan sampai dengan tingkat program dan kegiatan. Akibatnya kualitas lingkungan pun menurun sedemikian parah hingga kualitas kehidupan mencapai tingkat yang membahyakan kehidupan manusia.
Berbagai bencana yang terjadi saat ini sudah sulit dikategorikan sebagai bencana alam. Pada awal tahun 2004 saja, berbagai bencana lingkungan yang terjadi telah merenggut nyawa lebih dari 2.000 orang. Nyawa mereka hilang akibat dari kelangkaan air bersih, banjir, tanah longsor dan sebagainya. Sebut saja bencana banjir bandang, tanah longsor dan masih banyak lagi. Semuanya ini berkaitan erat dengan penurunan kualitas lingkungan yang semakin buruk.(Boehmer, 1994, 69-85). No Forest, No Water, No Future. Hilang hutan, hilang air hilanglah masa depan. Demikian pepatah yang mengumpamakan pentingnya air bagi masa depan. Air adalah sumber kehidupan yang mutlak diperlukan oleh semua makhluk hidup. Pengelolaan yang tidak baik terhadap sumber daya air akan menyebabkan bencana bagi makhluk hidup. Kelebihan air akan menyebabkan banjir, genangan dan tanah longsor. Kekurangan air akan menyebabkan bencana kekeringan. Menurut proyeksi FAO, pada tahun 2030 nanti, bumi kita akan dihuni oleh 8,3 milyar manusia dan kebutuhan akan air akan meningkat sebesar 14%. Betapa sengsaranya kita ketika terjadi kekritisan dan hilangnya sumber daya air di beberapa tempat di Indonesia (Ilyas, 1993, 65). Bukti kekritisan air yang ada adalah pada tahun 2002, dari 26 telaga yang ada di Paranggupito Wonogiri hanya tinggal 3 telaga yang masih ada airnya. Akibatnya sebanyak 4.503 kepala keluarga atau sekitar 20.756 warga 8 desa di Kecamatan Paranggupito Wonogiri kekurangan air. Bahkan 350 hektare tanaman padi di Sukoharjo gagal panen akibat minimnya air irigasi. Bahkan 350 hektare tanaman padi di Sukoharjo gagal panen akibat minimnya air irigasi. Pengolaan sumber daya air yang ada, sampai saat ini masih mengalami beberapa permasalahan mendasar. Di tengah permasalahan yang ada ini sumber daya air yang semakin hari semakin langka ketersediaannya ini justru menggugah usaha bagi para pemodal untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Sementara masyarakat kebanyakan masih terlena, kurang peduli, dan pasrah pada pengelolaan sumber daya air yang apa adanya. Berdasarkan data BPS 80% rakyat Indonesia pada awal abad ke 21 ini belum diakses air bersih. Ironis dan aneh memang, Indonesia yang merupakan negara yang terletak di daerah tropis dengan hutan tropisnya yang luas mengalami krisis air. Menurut teori, dalam hal sumber daya air asalkan kita mampu mengelolanya ketika musim hujan dan kemarau sumber daya air yang ada akan tetap aman. Pola pertanian destruktif, aksploitasi hutan dan perluasan pemukiman adalah penyebab hilangnya sumber-sumber air utama seperti danau dan mata air (Kartawinata, 1990). Selain itu semakin menyusutnya luasan hutan kita menyebabkan kelebihan air (banjir dan longsor) pada waktu hujan dan kurang air pada waktu kemarau. Tidak adanya program, baik formal maupun inisiatif masyarakat guna memelihara keberfungsian sumur juga mempengaruhi krisis air yang terjadi. PDAM sebagai satu-satunya perusahaan yang memproduksi air dibiarkan kehilangan kemampuannya bahkan jati dirinya untuk menyediakan air dengan kualitas yang baik dan dengan kuantitas yang cukup. (I Gusti Ayu Ketut, 2005, 4). Lalu pertanyaannya, bagaimana upaya pengelolaan sumber daya air yang harus dilaksanakan ? Bagaimana upaya yang harus dilakukan organisasi pengelola seperti PDAM dalam menyikapi kekritisan sumber daya air? Perubahan paradigma apa yang harus terjadi di tataran masyarakat, pemerintahan maupun pengelola air.


Bab II

B. Bencana lingkungan
Bencana lingkungan yang saat ini menonjol karena intensitas dan sebaran dampaknya antara lain adalah:

  1. Perusakan hutan dan lahan yang terjadi karena penebangan liar (illegal logging) di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Papua serta daerahdaerah lainnya telah menimbulkan kekeringan di musim kemarau; banjir dan tanah longsor di musim hujan; serta hilangnya keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya. Perusakan hutan dan lahan juga disebabkan oleh pembukaan lahan dengan pembakaran yang menyebabkan kebakaran hutan dan usaha pertambangan yang mengabaikan kaidahkaidah pelestarian fungsi lingkungan hidup;

  1. Pencemaran air (darat) akibat pembuangan limbah domestik, limbah B3 serta limbah usaha dari sector industri dan pertambangan. Pencemaran air mengakibatkan air yang debitnya sudah sangat langka, menjadi langka karena penurunan kualitasnya, sehingga air tidak lagi dapat memenuhi persyaratan untuk berbagai penggunaan.


  1. Masalah urban bermunculan seperti penimbunan sampah dan limbah domestik, pencemaran udara (oleh emisi kendaraan bermotor), kelangkaan air bersih dan keterbatasan lahan (kesesakan). Masalah ini disebabkan oleh tingginya laju urbanisasi, kurangnya fasilitas umum dan pelanggaran peraturan peruntukan ruang;
  1. Perusakan, pencemaran laut dan pantai yang mencakup perusakan hutan mangrove, abrasi pantai, pencemaran air laut, pengerukan pasir darat, dan perusakan terumbu karang telah menimbulkan kerusakan lingkungan laut dan pantai. Kehidupan nelayan yang bergantung pada kondisi laut dan pantai sangat terkena dampak negatifnya;

  1. Dampak lingkungan global seperti rusaknya lapisan ozon, peningkatan suhu bumi dan sebagainya telah menimbulkan dampak lingkungan secara global. Penanganan dampak ini menuntut kerjasama internasional. Menurut Direktur Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan RI, luas kerusakan hutan dan lahan di Indonesia 43 juta Ha (24 juta Ha di kawasan hutan dan 19 juta Ha di luar kawasan hutan). Sedangkan laju deforestasi tahun 1982-1990 sebesar 900.000 Ha/tahun. Di tahun 1985-1997 laju kerusakan hutan sebesar 1,6 juta Ha/tahun, di luar P. Jawa, Bali, NTT, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Lebih parah lagi laju kerusakan hutan dan lahan pada tahun 1997-2000 untuk 5 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya, di kawasan hutan sebesar 2,83 juta Ha/tahun dan di luar kawasan hutan 0,68 juta Ha/tahun. Masalah-masalah lingkungan ini semua menyebabkan penurunan kesehatan dan potensi ekonomi, serta perubahan tatanan sosial. Kesenjangan antara yang miskin dengan yang kaya terus menganga, akibat turunnya daya dukung lingkungan. Masalahmasalah lingkungan ini bersifat tak terpulihkan sehingga menimbulkan kerugian dan kehilangan yang hermanen (Bartleet, A.G., MC Nurse, R. B., Chetri and S Khaerel, 1993, 49- 69).

  1. Pendapatan yang cukup besar

Otonomi daerah memang meniupkanmharapan baru bagi daerah untuk memperoleh pendapatan yang cukup besar dari sumber daya alam yang dimilikinya. Salah satunya adalah di sektor pertambangan non migas. Daerah seperti Kalimantan Timur maupun di Papua misalnya, ketika zaman orde baru, mereka hanya menyaksikan kemewahan kehidupan pertambangan yang berada di wilayahnya. Boleh dikata pemerintah setempat dan masyarakat tidak memperoleh apa-apa dari keberadaan pertambangan tersebut. Ironisnya memang. Mereka yang memiliki lahan, tetapi orang lain yang seenaknya mengeruk harta karun atas lahan yang dimiliki pemerintah daerah itu. Akibatnya muncul kecemburuan sosial dari masyarakat setempat terhadap pertambangan di wilayah itu. Dalam hitungannya, kontribusi pertambangan kurang dari 3% GNP. Ini belum jelas berapa persen yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat karena ditarik ke pusat. Kalau kita lihat ke sentral pertambangan di Freeport, kita lihat terjadi kesenjangan. Di sana tidak ada peningkatan kesejahteraan, padahal ketika pertambangan masuk digembor-gemborkan akan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Tapi kenyataannya justru di pertambangan itu terdapat kantong-kantong kemiskinan. Ini sebetulnya paradoks. Di satu sisi pertambangan dianggap sebagai primadona yang mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi kenyataannya hanya mitos. Tidak terjadi.
Ketika pertambangan masuk, seolah-olah ekonomi meningkat, karena perusahaan tersebut menyumbang pajak, menyumbang dari pendapatan produksi yang besar, meningkatkan PAD, tetapi sebetulnya tak terjadi. Belum lagi ketika perusahaan tersebut selesai menambang, terjadilah drop yang sangat drastis. Akhirnya muncul fenomena ghost town atau kota hantu. Undang-undang nomor 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan Dampak Pemberlakuannya Belum lagi pertanyaan tersebut diatas terjawab, telah disyahkan UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yang membuat banyak pihak terhenyak karena menyisakan setumpuk permasalahan. Pemberlakukan undang-undang tersebut di tengah otonomi daerah memungkinkan pengelolaan sumber air oleh pihak swasta. Dengan adanya undangundang tersebut bukan mustahil perebutan sumber-sumber air akan terjadi. Perkelahian fisik dan jebol menjebol saluran air sering terjadi. Kasus perselisihan antara PDAM Solo dengan petani Boyolali adalah salah satu contoh yang menggambarkan permasalahan yang terjadi akibat adanya undang-undang tersebut. Konflik tersebut berawal dari rencana PDAM Solo menarik air bersih dari umbul Sungsang, Banyudono Boyolali guna
memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Solo.
Proyek PDAM yang dituangkan dalam MoU antara Pemkot Solo dan Pemkab Boyolali ditentang oleh para petani yang selama
ini memanfaatkan air umbul Sungsang untuk pengairan lahan pertanian mereka. Para petani itu cemas bahwa proyek PDAM Solo akan mengurangi jatah air untuk areal sawah seluas 560 hektare yang meliputi wilayah Desa Jebungan, Jipang, Sambon, Dukuh, Guwokajen, dan Kemiri. Persoalan ini mengakibatkan terjadinya ketegangan antara Pemkab Boyolali dan Pemkot Solo (Solo Pos, 27 April 1999). Perang air bukan mustahil dapat terjadi antara PDAM dengan PDAM lain atau antara PDAM dengan lembaga lain. Di sisi lain PDAM bisa bangkrut kalau tidak menata dirinya dengan pola managemen yang lebih efisien. Otonomi daerah yang dilaksanakan juga memberikan beberapa konsekwensi dalam pengelolaan sumber air. Dalam hal ini Pemerintah Daerah dapat mengundang investor baik lokal maupun asing untuk mengelola sumber daya air. Adalah hal yang menggiurkan ketika harga 1 liter air mineral atau air dalam kemasan telah melebihi harga 1 liter BBM. Wajar saja ketika Pemerintah Daerah yang notabene sedang giat-giatnya meningkatkan PAD lebih tertarik pada investor asing yang sanggup membayar dengan dollar ketimbang investor lokal yang hanya sanggup membayar dengan rupiah. Namun bagaimana dengan saudara-saudara kita di Solo yang juga sangat membutuhkan air dan sangat bergantung dari daerah sekitar seperti Karanganyar, Boyolali, Klaten dan lainnya ? Masih menyangkut tentang konflik air baru-baru ini sekitar seribuan warga Desa Kebondalem kecamatan Jambu Kabupaten Semarang berunjuk rasa dengan mendatangi gedung DPRD Kabupaten Semarang.(Solo Pos 17 maret 2005).
Warga yang mengatasnamakan diri Gerakan Rakyat Kebondalem Menuntut Adil tersebut menuntut agar sumber air Tuk Umbul yang berada di Desa mereka bisa kembali dipergunakan untuk kepentingan umum dan tak didominasi perseorangan. Konflik yang terus terjadi di tengah kondisi sumber daya air yang kritis (Hasil penelitian yang ditulis oleh Ayu dalam Disertasinya menunjukkan terdapat trend kenaikan jumlah Daerah Aliran Sungai yang kritis dari tahun ke tahun. Tahun 1980an baru sekitar 22 DAS kritis, Tahun 1990an meningkat menjadi 35 DAS kritis dan tahun 2000-an meningkat tajam menjadi 69 DAS kritis dan hampir 75% DAS kritis tersebut berada di Pulau Jawa) adalah sebuah tantangan yang harus dijawab agar keberadaan sumber daya air secara kuantitas dan kualitas terjaga. PDAM Solo sebagai salah satu institusi pelayan pulik di Kota Solo juga mengalami problem kekritisan air sebagai pasok bagi konsumennya. Sampai-sampai ada kontroversi tentang bisa tidaknya air Bengawan Solo sebagai salah satu sumber air baku bagi masyarakat Solo.
Solopos beberapa waktu lalu memberitakan bahwa sejumlah ikan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Bengawan Solo tercemar logam berat berupa tembaga (Cu), Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb), untuk itu masyarakat di sekitar Sungai Bengawan Solo diimbau tidak mengambil ikan di sungai tersebut untuk konsumsi sehari-hari. Hal itu didasarkan pada penelitian yang dilakukan mahasiswa D III Kesehatan Lingkungan Fakultas Kedokteran UMS Ristiyana Eko Setyarini (Solo Pos, 26 Pebruari 2005).. Hanya ikan sapu-sapu yang mampu hidup di kawasan tersebut, namun jika masyarakat mengkonsumsi ikan sapu-sapu yang berada di Sungai Bengawan Solo akan menimbulkan dampak bagi kesehatan, diantaranya kerusakan hati, penyakit ginjal, gangguan lambung, kerapuhan tulang, pigmentasi, kerusakan saraf otak, anemia, kelumpuhan dan berkurangnya haemoglobin darah.
Di sisi lain hasil penelitian yang dilakukan Pegiat Ekologi Gita Pertiwi Ir. Nugroho Widiarto, MSi mengatakan air permukaan Sungai Bengawan Solo berpotensi dan layak untuk menjadi air baku bersih untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga Solo. Hal itu didasarkan pada penelitian yang dilakukan Gita Pertiwi terhadap dua sungai yang mengarah pada sungai Bengawan Solo yaitu Sungai Premulung dan Kali Anyar. (Solo Pos, 29 Pebruari 2005). Untuk Sungai Premulung pada musim kemarau terdapat debit air 3,2 meter kubik per detik, sedang Kali Anyar terdapat 4,33 meter kubik per detik.
Sementara untuk debit saat musim hujan, sungai Premulung mengalami kenaikan menjadi 34,4 meter kubik per detik dan 36,7 meter kubik per detik. Nugroho menambahkan dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa air Bengawan Solo hanya baru layak dari segi teknis. Pasalnya untuk tingkat kelayakan tersebut harus meliputi dari tiga aspek yaitu aspek teknis, lingkungan dan ekonomi. Secara teknis memang layak untuk menjadi air baku air bersih, karena terdapat tekonologi yang dapat digunakan untuk mengelola air Bengawan Solo tersebut menjadi air baku air bersih. Dari aspek ekonomi harus melihat tentang kajian mengenai harga yang harus dipatok setelah air Bengawan Solo tersebut diolah. Kajian tersebut, lanjutnya harus dilakukan secara matang. Sedang untuk aspek lingkungan, bisa dilihat bahwa selama ini warga Solo menggunakan mata air dan sumur dalam untuk konsumsi air bersih, kedepan apabila sudah menggunakan air permukaan seperti air Bengawan Solo apakah warga Solo bisa menerima hal tersebut. Perkembangan tekonologi memang memperlihatkan bahwa teknologi pengelolaan air permukaan untuk air baku bisa memberikan jawaban untuk mengatasi kekurangan air di wilayah Solo. Hingga saat ini per hari PDAM baru memiliki debit air sebanyak 820 liter per detik untuk mencukupi sekitar 52.000 pelanggan. Untuk mengatasi berbagai kekurangan, lanjut Singgih selain mengandalkan mata air di daerah Klaten, PDAM juga telah membangun sebanyak 24 sumur dalam.

  1. Lemahnya penegakan hukum lingkungan

Salah satu penyebab parahnya kondisi lingkungan akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan saat ini adalah lemahnya penegakan hukum lingkungan oleh aparat penegak hukum baik di tingkat pusat maupun daerah. Penegakan hukum lingkungan pun menjadi salah satu Program Kementrian LH. Di sisi lain menurut Direktur Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan, Dr. Harry Santoso pada waktu memberikan Kuliah Umum di Fakultas Hukum UNS tanggal 23 Mei yang lalu yang juga masih dalam rangka menyambut Hari Lingkungan ini, salah satu kebijakan prioritas Departemen Kehutanan sampai Tahun 2009 adalah Pemberantasan Pencurian Kayu (Illegal Loging) di Hutan Negara dan Perdagangan Kayu Illegal (Illegal Trade) (Hari Santoso, 2005).
Sudah saatnya pelaksanaan Penegakan Hukum Lingkungan yang konsisten merupakan bentuk perlindungan kepada masyarakat dari pencemaran dan kerusakan lingkungan. Jumlah perkara pencemaran dan kerusakan lingkungan yang telah ditindaklanjuti melalui upaya penegakan hukum oleh Kementrian LH dalam tahun 2001-2004 mencapai 77 perkara. Penegakan hukum ke-77 perkara pencemaran dan kerusakan lingkungan hi-dup tersebut dilakukan dengan cara: pertama, 6 perkara dilakukan melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan (mediasi); kedua, 10 perkara diselesaikan melalui penegakan hukum perdata; ketiga, 61 perkara dilakukan melalui penegakan hukum pidana. Ironisnya AMDAL yang diharapkan sebagai perangkat kebijakan yang dipersiapkan untuk mengurangi dampak lingkungan suatu kegiatan sejak tahap perencanaan kegiatan dan bertujuan mencegah laju pencemaran dan kerusakan lingkungan belum dapat diharapkan. Untuk melihat sejauh mana penerapan AMDAL dalam era otonomi daerah, Kementrian Lingkungan hidup telah mengevaluasi terhadap 75 dokumen AMDAL . Evaluasi ini menunjukkan sebagian besar dokumen AMDAL gagal menyajikan substansi esensial yang harus ada di dalamnya dan tidak konsisten dalam mengevaluasi dampak yang dikaji. Sebanyak 68% dokumen AMDAL tersebut dikategorikan jelek. Hanya sebagian kecil dokumen yang menunjukkan mutunya bagus, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang baik. Hasil evaluasi tersebut menunjukkan, meski-pun secara kelembagaan institusi AMDAL telah telah mencapai taraf mapan, tetapi masih memerlukan perbaikan terus menerus agar lebih meningkatkan peranan AMDAL dalam pengelolaan lingkungan hidup. Fenomena yang terjadi saat ini pemerintah daerah berlomba-lomba “menjual” kekayaaan alamnya dengan alasan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

Bab III

  1. Penutup

Ada beberapa hal yang bisa digunakan Pemerintah sebagai bahan refleksi. Pertama, Kita telah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan sebagai Umbrella Act (Undang-Undang Payung) bagi peraturan-peraturan lainnya yang juga mengatur mengenai lingkungan dan seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat sebagai pemilik tanah dan air. Namun masalah utama pengelolaan lingkungan adalah tidak pernah ada niat yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk peduli tentang masalah lingkungan. Kedua, Perlindungan lingkungan masih minoritas ketimbang semangat mengeksploitasi. Ini dapat dilihat dari seperangkat aturan tentang sumber daya alam, yang diterbitkan sekedar untuk mengatur eksploitasi ketimbang konservasi. Ketiga, Bapedal walaupun mempunyai kewenangan melakukan investigasi, naum tidak dilengkapi dengan hak mengeksekusi, sehingga apapun temuan Bapedal tetap dapat diabaikan oleh para perusak lingkungan. Ketidakseriusan pemerintah dapat juga dilihat bagaimana penguasa negeri ini memandang masalah lingkungan dan sumber daya alam yang hanya sekedar administratif. Diperlukan pendekatan pengelolaan sumber daya alam yang komprehensif agar perebutan pemanfaatan sumber daya alam tidak terjadi. Ketiadaan dasar hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan dan sumber daya alam akan membahayakan berbagai pihak, bukan saja stabilitas keamanan semakin rawan, tetapi juga percepatan pengurasan lingkungan dan sumber daya alam akan semakin tinggi. Ditambah lagi konflik yang terjadi kecenderungannya tidak saja antara pemodal besar dengan rakyat setempat, tetapi telah berkembang menjadi konflik horizontal yaitu antara sesama masyarakat, seperti dalam kasus perang air (water wars) di beberapa tempat akibat terjadinya krisis air.
Ada 2 hal yang harus diingat PDAM khususnya oleh pihak manajemen PDAM sendiri. Pertama, trilogi air dan kedua, adalah Tariff. Trilogi air yaitu aman, isi dan rutin. Aman erat kaitannya dengan mutu atau kualitas air, isi atau volume air per orang per hari atau kapasitas umumnya 120 liter per orang per hari, rutin atau keajegan artinya air harus tersedia 24 jam sehari terus menerus tiada
henti. Tarif air erat kaitannya dengan pelanggan. Bahkan dapat mempengaruhi minat siapa saja, untuk jadi pelanggan atau tidak, ataupun berhenti jadi pelanggan lantaran tidak puas atas tarif dan layanannya. Permasalahan ketidakpuasan atas tarif, sebenarnya tidak hanya pelanggan saja yang berkeluh kesah tetapi juga PDAM mengeluh lantaran tarifnya rendah benar dan lama tidak naik-naik. Alasannya masuk akal. Realistis PDAM sudah keluar biaya. Biaya ini untuk mengolah air baku yang tidak layak minum menjadi air yang mudah-mudahan layak minum dengan ragam variasi system pengolah, mulai dari yang sederhana sampai yang rumit sekaligus mahal. PDAM telah berupaya mengubah air bakunya yang kotor, keruh dan kaya bakterimenjadi air yang diharapkan bersih sehingga mampu meniadakan problem kesehatan seperti diare, tifus, gagal ginjal, dan kerusakan hati. Dan ini tentu saja membutuhkan biaya operasi rawat instalasi. Komponen ongkos ini pun ikut menentukan besar kecilnya tariff air. Namun perlu diingat, bahwa air meskipun pajaknya telah dibayarkan, tetap saja milik rakyat menurut Pasal 33 UUD 1945 amanademen Ke IV. Pasal ini merupakan pilar bersandar bagi rakyat. Maka, wajiblah pemerintah untuk turun tangan agar maksud Pasal ini tidak diselewengkan. Dan UU No. 7 Tahun 2004 seharusnya mengedepan kan kepentingan rakyat sebagai pemilik tanah dan air.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu K. R. H., I Gusti. 2005. Upaya Penegakan Hukum Lingkungan (Refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni). Harian SOLOPOS.
Ayu K. R. H., I Gusti. 2005.PDAM dan Krisis Air di Solo (Refleksi Hari Air 23 Maret).Harian SOLOPOS.
Ilyas, Muhamad Arif, Efendi, Rustam. 1993. Pemanfaatan Sumber Daya Air Sungai Pulau Jawa Hampir Mendekati Kritis. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pengairan. No. 28, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan.
Kartawinata. 1990. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Sumber Daya Alam. Laporan Penelitian BPTP-DAS Surakarta. Tidak diterbitkan.

0 komentar:

Posting Komentar